Embun pagi yang mengalir di sela-sela dedaunan di tepian jalan adalah pemandangan yang tiap pagi ku nikmati. Senyum, tangis, tawa, dan rewel gadis kecilku yang mengucapkan salam saat melepasnya di tempat dia menungguku juga menjadi momen yang indah saat nanti suamiku yang sekarang mencari sesuap nasi di tanah Borneo kembali dan melepas rindunya di sini. Begitulah setiap harinya ku lewati.
Aku adalah seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah di kaki gunung Merapi, penuh pesona, tepa slira, humanis, dan kental akan kearifan lokalnya. Menjadi seorang guru memang menjadi cita-citaku dari kecil. Dalam bayanganku waktu itu, menjadi guru adalah hal yang istimewa, disamping mengajar, menjadi sumber ilmu bagi siswa, juga sebagai media untuk bertemu dengan orang-orang hebat dibidangnya masing-masing. Yaa.. itulah alasanku kenapa aku begitu bercita-cita menjadi seorang guru.
Basically, aku adalah lulusan seni tari di salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Tentunya bukan hal mudah bisa sampai pada titik ini, aku bersama suamiku yang sekitar 3 tahun harus bertugas di tanah Borneo membuatku harus menjadi pribadi yang mandiri, Mama yang tak kenal lelah, juga menjadi contoh figur guru bagi anak-anak didikku. Memang aku belum lama menjadi seorang pendidik, bisa dibilang aku masih anak kencur dan belum banyak pengalaman tetapi sedikit ataupun banyak pengalaman yang aku alami tentu tetap mempunyai hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik.
Sebelum berpindah tugas di sekolah negeri tempat aku mengabdi saat ini, aku dulunya adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta yang berada di daerah kota. Di sana aku menimba ilmu, berwiyata bakti, dan bertemu dengan siswa-siswa dengan karakter yang bervariatif. Pada saat itu aku hanya mengampu mata pelajaran seni tari saja. Syukur allhamdulillah ternyata masih banyak siswa-siswi yang berminat untuk belajar menari meskipun dengan segala keterbatasannya . Pada setiap event, tarian menjadi salah satu pokok pementasan yang selalu wajib diikutsertakan sehingga seni tari di sekolah itu sangatlah hidup. Dari acara-acara sekolah biasa hingga penyambutan tamu dari negara tetangga pada program School Sister. Pernah menjadi bagian dari sekolah tersebut merupakan kebanggaan tersendiri bagiku. Berbagai pengalaman yang pernah aku dapatkan dari sana, baik dari segi ilmu dan metode mengajar juga bagaimana cara mengkondisikan anak dengan karakter yang bervariatif menjadi bekalku untuk mengabdi di sekolahku yang baru saat ini.
Seperti yang sudah aku ceritakan diawal, saat ini aku sudah berpindah tugas di salah satu sekolah negeri yang berada di kaki gunung Merapi. Sangat berbeda dengan sekolahku dulu yang dekat dengan riuhnya jalanan kota, sekolahku saat ini begitu rindang, sejauh mata memandang terlihat deretan sawah dan kebun yang masih asri dan tidak sedikit pula perkampungan yang disulap menjadi kampung wisata dengan lingkungan yang tertata rapi serta udara yang masih bersih. Di tempat yang baru ini aku juga belajar hal baru yakni tidak hanya mengajarkan seni tari saja tetapi cabang seni yang lain juga dan yang aku pilih sebagai tambahan materiku adalah seni rupa. Tuntutan kurikulum baru yang mengharuskan guru untuk menguasai lebih dari satu bidang mau tidak mau membuatku lebih giat belajar pada hal baru tersebut. Jujur, sebenarnya untuk mempelajari disiplin ilmu yang baru agak sulit bagiku tetapi hal tersebut harus mampu aku lalui demi keprofesionalitasan dalam bekerja.
Pada sekolah jenjang pertama guru tidak hanya bertugas untuk memberikan ilmu tetapi juga mendidik sehingga penting pada usia tersebut menanamkan karakter yang baik pada setiap kegiatan belajar mengajar. Mengampu di kelas tujuh membuatku sedikit bekerja lebih keras untuk menanamkan kedisiplinan para siswa agar dijenjang selanjutnya karakter mereka bisa nampak. Berusaha mengubah presepsi yang mereka bawa dari Sekolah Dasar jika seni budaya hanya merupakan pelajaran menggambar. Memberikan penjelasan jika mata pelajaran seni budaya memiliki beberapa cabang yang dapat dipelajari sehingga tidak melulu hanya menggambar dan menggambar saja. Memberikan edukasi jika pelajaran seni tidak hanya sekedar belajar berkesenian namun yang lebih penting adalah menanamkan pendidikan rasa serta menanamkan pada siswa bahwa ada tujuan lain dari pembelajaran seni itu sendiri yang tidak hanya berhenti pada siswa tahu dan trampil dalam olah seni. Ada tujuan mulia di dalamnya yakni pembelajaran seni harus mampu menciptakan “situasi sadar budaya” pada anak-anak agar para siswa memiliki ketahanan budaya yang tangguh sehingga akan menjadi manusia yang memiliki jati diri dan tidak mudah terombang-ambing oleh budaya global.
Pada awalnya pembelajaran seni baik itu intrakurikuler maupun ekstrakurikuler berjalan lancar seperti yang dikehendaki. Para siswa antusias dengan pembelajaran dan begitu rajin untuk membuat karya-karya baru mereka. Hingga munculah sebuah pandemi global yang sebelumnya telah menyebar di berbagai belahan dunia dan kini pandemi tersebut telah menyebar di bumi Indonesia. Hal inilah yang menjadi awal mula pengalaman mengajar yang begitu menarik bagiku. Guna memutus rantai penyebaran virus tersebut pemerintah pun melakukan antisipasi dan pembatasan diberbagai bidang, yang tentunya bidang pendidikan juga tak luput dari penerapan kebijakan tersebut. Salah satu kebijakan yang hingga saat ini selalu digaungkan adalah social distancing atau physical distancing. Menindak lanjuti adanya kebijakan tersebut maka dikeluarkanlah himbauan untuk belajar dan bekerja dari rumah atau yang lebih dikenal dengan WFH (Work From Home).
Dengan adanya WFH tentu saja membuat para guru kemudian harus memutar otak untuk menentukan media dan model pembelajaran yang tepat agar apa yang mereka sampaikan dapat diterima siswa dengan baik dengan segala keterbatasan yang ada, tidak terkecuali aku. Ya, sebab selain penjasorkes, mata pelajaran seni budaya merupakan salah satu pelajaran favorit yang di seluruh tingkat pendidikan kebanyakan lebih cenderung mengandalkan praktik. Kondisi seperti ini benar-benar diluar dugaanku. Tidak hanya aku, aku kira hampir sebagian guru pun berpendapat sama jika ini merupakan pengalaman kali pertama mengajar dengan kondisi seperti ini. Pembelajaran daring (dalam jaringan) merupakan solusi dari masalah tersebut.
Manfaat positif dari pembelajaran jarak jauh ini membuat guru menguasai berbagai macam media guna mendukung proses pembelajarannya. Dimulai dari memanfaatkan aplikasi WhatsApp, Google classroom, Googleform, E-learning, Youtube, Instagram, Blog, Quizizz dan lain-lain.
Keterbatasan waktu dan skill membuatku pada minggu pertama hanya sempat menggunakan aplikasi WhatsApp sebagai media. Kendala diminggu awal pembelajaran adalah masih ada beberapa siswa yang belum memiliki handphone sehingga harus bergantian dengan orang tua atau saudaranya. Baik guru maupun siswa masih sama-sama beradaptasi dengan pola pembelajaran yang baru.
Ketika aku putuskan untuk menggunakan WhatsApp terlebih dahulu pada awal minggu, aku sudah memikirkan konsekuensi apa yang akan terjadi pada handphoneku. Dan ya, benar saja dugaanku.seketika handphoneku ramai oleh chat siswa yang mengumpulkan tugas. Bisa dibayangkan terdapat 5 rombel dengan masing-masing kelas berisi sekitar 32 siswa. Seketika itu juga memori penuh dan handphone menjadi lola alias loading lama.
Belajar dari pengalaman minggu pertama, aku mulai belajar media lain yang memang cocok digunakan untuk pembelajaran daring. Berkat bantuan teman-teman sesama guru akhirnya aku bisa menambah skillku untuk menggunakan media google classroom dan googleform.
Kali ini pekerjaanku sedikit lebih ringan karena aku tinggal mengoreksi jawaban dari para murid dan tidak perlu memindahkan file seperti yang aku lakukan sebelumnya. Tentu saja sebelum memberikan latihan soal, para siswa diberikan materi terlebih dahulu sehingga apa yang diharapkan pada proses belajar mengajar tersebut dapat tersampaikan dengan baik. Memang tidak semua siswa dapat mengumpulkan tugas tepat waktu sebab terkendala beberapa alasan seperti kuota sehingga aku memberikan waktu yang cukup longgar bagi siswa agar mereka juga mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh nilai seperti teman-temannya.
Sebuah masalah baru muncul ketika materi pembelajaranku selanjutnya masuk pada bagian praktik dimana para siswa diminta untuk membuat gerak sesuai iringan.
Melihat kondisi yang belum juga membaik dan kegiatan WFH justru diperpanjang membuatku berpikir bagaimana menyampaikan materi praktik tersebut dengan situasi yang seperti ini. Akhirnya aku berpikir untuk mencoba menggunakan media youtube dan materi aku sesuaikan dengan situasi, pembelajaran kontekstual sesuai dengan kondisi yang terjadi.
Aku cari contoh video dance cuci tangan sesuai anjuran WHO lalu aku minta para siswa untuk membuat dance cuci tangan dengan iringan yang sudah ditentukan dan hanya berdurasi 30 detik saja sehingga tidak akan memberatkan siswa dan kuota yang terpakai pun tidak banyak. Aku berharap dalam pembuatan video tersebut para siswa bisa sambil bersenang-senang sehingga dapat membantu mengusir kejenuhan. Dan seperti dugaanku, ternyata respon anak-anak begitu bagus pada tugas yang aku berikan. Meskipun dibuat dengan ala kadarnya namun bisa membuat mereka terhibur dengan melihat tarian mereka sendiri.
Aku hanya tersenyum apabila mencoba mengingat suka duka menjadi pengampu mata pelajaran Seni Budaya. Apapun itu, yang dapat aku sampaikan untuk mengakhiri tulisan aku ini, jadilah penerus generasi bangsa yang berkarakter, berjiwa seni, berbudaya nasionalis dengan rasa cinta dan bangga dengan kebhinekaan Indonesia raya ini. Apapun profesimu sebagai pendidik, Cintailah profesi gurumu itu, karena dari letihnya tangan itu untuk menyampaikan ilmu pada bibit generasi bangsa itulah yang akan mengantarkanmu pada sebuah pencapaian hidup yang tak tergantikan dan tak mungkin bisa dirasakan oleh orang pada umumnya.
Memang sudah bukan hal yang asing lagi, jika Seni Budaya dalam proses pembelajaran di sekolah seolah-olah seperti anak tiri dengan segala keterbatasanny tetapi akan berubah menjadi anak emas dengan segala tanggungjawabnya ketika acara seremonial-seremonial tertentu. Sudah sepatutnya kita menanamkan bahwa seni budaya ada untuk memberikan dan menanamkan jiwa seni yang berkarakter pada kebangsaan kita, bangsa Indonesia. Apabila hal-hal tersebut dapat terwujud, baik secara sarana prasarana yang ada di sekolah maupun penciptaan peserta didik agar menyenangi seni budaya, pastilah seni budaya akan menjadi sebuah mata pelajaran yang tidak kalah pentingnya dengan mata pelajaran sains.
BIOGRAFI PENULIS
Aku adalah seorang perempuan kelahiran kota Purwodadi pada tanggal 8 April 1992. Orang tuaku memberikanku nama Rinanti Murdianing Sunyar. Aku lahir dari kedua orang tua yang bekerja di bidang medis. Aku memiliki satu adik laki-laki yang sampai hari ini masih betah sendiri. Aku sudah menikah dan memiliki satu putri kecil cantik bernama Gendhis. Suamiku seorang manager di salah satu kantor cabang penerbit ternama Indonesia di kota Pontianak. Singkat cerita, aku dan suamiku harus menjalani Long Distance Marriage sebab aku dan putriku hidup di Yogyakarta sedangkan suamiku berada di pulau seberang.
Aku menempuh pendidikan di kota Yogyakarta sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. SD N Godean 2 adalah tempat dimana aku menyelesaikan pendidikan dasar. Setelah lulus, aku melanjutkan ke jenjang SMP di SMP N 1 Godean dan melanjutkan ke SMA N 1 Godean. Selepas lulus SMA aku melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta dan mengambil jurusan Pendidikan Seni Tari. Aku menempuh pendidikan dengan lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude sehingga aku pun melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dengan mengambil jurusan Pendidikan Seni di universitas yang sama. Pendidikan S2 ku, aku lalui sambil bekerja. Mengajar di salah satu sekolah swasta dekat universitas. Sama halnya ketika S1, pendidikan S2 ini pun aku selesaikan dengan lancar dan tepat waktu.
Aktifitasku saat ini aku menjadi Guru Seni Budaya di sebuah Madrasah Negeri di daerah Sleman yakni MTs N 7 Sleman. Mengajar seni memberikanku perspektif kebahagiaan yang luar biasa. Profesiku yang menuntutku untuk menjadi sosok panutan dan sumber ilmu bagi anak didikku justru memberikan ku pandangan luas tentang wawasan seni, yang justru menjadi kepuasan sebuah makna berkarya dalam dunia pendidikan ini. Cita-citaku memang mengabdi untuk negeriku, tanah airku. Bekerja senang, bahagia, berdedikasi, profesional, dan penuh tanggung jawab komitmen adalah caraku dalam mendidik anak-anak muridku. Aku suka menjadi guru dan seni adalah caraku berekspresi dan memarnai perjalanan hidupku untuk negeriku. Aku bangga menjadi guru seni.