kau tahu panah sakti seteru Rahwana itu memang memenggal leherku, Wibisana. Kau juga tahu Laksamana melumpuhkan tangan, kaki dan keberanianku.Tetapi mengertilah, aku tak bertempur untuk istana dan keindahan gua pertapaanku. Aku hanya ingin Alengka tak lampus dan kematianku menjadi rahasia kekalahan siapa pun menghadapi keraguan. Kumbakarna lalu pamit mati kepada angin dan semua kuda jantan. Ia berharap tak ada lagi yang bertikai untuk sesuatu yang hampa untuk sesuatu yang tak layak dipertengkarkan. Bukankah kematian kera-kera itu akhirnya tak membuat Rama percaya pada kesucian Sinta? Bukankah….
kematianku tak membuat surga membuka pintu untuk pertobatan seekor raksasa, Indrajit. Kematianku hanya melahirkan arwah harum yang mengendarai ular jantan. Bersama tujuh bidadari dan sepasang genderuwa kembar, turunlah dari kereta kencana perangmu. Tak ada gunanya kau membunuh Rama yang telah kalah sebelum kaulesatkan panah api pertamamu. Tapi tetap saja Indrajit berangkat berperang dan binasa. Tetap saja Rahwana murka dan binasa. Tetap saja aku tak bisa menghentikan pertempuran melawan kegelapan yang sia-sia.Oleh Triyanto Triwikromo