Definisi Hermeneutika Bahasa
Kata “hermeneutika”
(Inggris: hermeneutics) berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuô yang
dapat diartikan dengan mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, dan
menterjemahkan. Sedangkan pada abad ke-17 dan 18 hermeneutika digunakan untuk
menginterpretasikan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi) dan juga kitab suci.
Sedangkan saat ini istilah hermeneutika mengandung pemahaman yang sangat luas
berkaitan dengan bahasa, dan merupakan refleksi dari “mengerti” (verstehen).
Apa yang dimaksud dengan “mengerti” dan lain sebagainya.
Gadamer menjelaskan Hermeneutika permasalahan bahasa dalam buku Wahrheit und methode bahwa proses mengerti tidak akan pernah terlepas dari unsur bahasa. Bahasa bukan hanya sebuah proses pengenalan terhadap teks-teks masa lalu tetapi merupakan perwujudan eksistensi manusia. Bagi Gadamer, bahasa merupakan aspek dari pengalaman hidup manusia, dari pikiran dan dari pemahaman. Bahasa bukanlah merupakan fakta empirik, melainkan sebuah prinsip, sebuah perantara pengalaman hermeneutik (die mitte). Ada menampakkan diri kepada manusia, berwujud bahasa yang diungkapkan lewat percakapan hermeneutis. Kees Bertens mengutip perkataan Gadamer tentang relevansi ontologis bahasa yang sering menjadi perdebatan dalam buku Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, yaitu “Sein, das verstanden warden kann, its Sprache” yang berarti Being that can be understood is language.
Bertens menjelaskan bahwa “Dalam perkataan ini diungkapkannnya cara bagaimana Ada tampak pada manusia. Jika Ada menampakkan diri bagi manusia, terjadilah sesuatu. Jika Ada tampak bagi manusia, dikatakan sesuatu. Ada menampakkan diri sebagai bahasa. Dengan perumusan lain dapat dikatakan juga bahwa dalam situasi hermeneutis Ada tampak sebagai percakapan, sebagai dialog. Mengerti itu sama dengan mengadakan percakapan dengan yang ada; suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi sesuatu”.
Gadamer memaparkan bahwa bahasa mengungkapkan tentang realitas dunia, bahasa tidak masuk dalam realitas subjektif manusia yang menghalangi hubungan manusia dengan realitas. Ia juga mengungkapkan bahwa bahasa tidak akan pernah dapat mengungkapkan segala sesuatu dengan tepat dan tuntas. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan bahasa, melainkan karena adanya aspek keberhinggaan subjektif manusia. Menurutnya bahasa bukan hanya merupakan alat komunikasi, dan bukan hanya berupa sistem tanda seperti yang banyak dibahas oleh Ferdinand de saussure dan Cassirer. Bahasa menunjukkan hakikat ada secara ontologis dan merupakan wujud penampakan manusia secara eksistensial. Bahasa ada karena bahasa itu sendiri, bukan karena adanya manusia.
Gadamer menegaskan, jika bahasa dikatakan sebagai alat, maka akan ada ketakterhubungan bahasa dan pikiran. Kata yang digunakan seperti ini hanya berfungsi sebagai alat untuk menunjukkan sesuatu, berfungsi sebagai tanda yang menandai sesuatu. Kata hanya bermakna tunggal, hal ini menandai pemahaman kata sebagai data yang empiris. Sebaliknya bahasa bukanlah merupakan alat subjek untuk mengungkapkan pikirannya, karena konsekwensinya akan terdapat pemisahan antara realitas dengan pengertian. Menurut Gadamer, manusia tidak menciptakan kata-kata dan tidak memberikan artinya, dalam hal ini ada kesalahan dalam teori linguistik, karena kata yanbg digunakan adalah mengungkapkan realitas. Bahasa adalah milik realitas. Bahasa tidak disebabkan oleh keberadaan manusia. Jadi dapat dimengerti bahwa bahasa menurut Gadamer dibentuk oleh realitas. Bahasa merupakan proses pengejawantahan terhadap realitas, dan manusia hanya mengaktualisasikannya.
Lebih jauh Gadamer mengatakan bahwa objek benda-benda tidak bisa dipisahkan dari kata-kata bahasa. Pengalaman tidak dapat dimulai tanpa bahasa. Ketika ingin menunjukkan kesesuaian bahasa dengan pengalaman yang kita alami, bukan berarti kita mencari sistem tanda yang akan menunjukkan dengan pasti makna bahasa terhadap pengalaman tersebut. Bahasa yang dihadirkan belumlah menggambarkan realitas secara lengkap, karena memang pengalaman tersebut belum menunjukkan kebenaran secara penuh ke dalam bahasa yang dipergunakan. Gadamer pun mengakui bahwa ada keterkaitan erat antara objek dengan kata, sehingga kata yang digunakan sebenarnya mencari sesuatu padanan erat yang melekat dengan objek yang digambarkan. Begitu pula dengan eratnya kaitan antara bahasa dan pemikiran, yang beurpa satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Menurut Paul Ricoul hermeneutika lebih menekankan pada penyelidikan makna yang bersifat objektif, yaitu suatu makna yang tidak bergantung pada subjek pengarang atau yang lainnya. Suatu makna dari sebuah teks tidak diinterpretasikan sebagai suatu hubungan intersubyek (pengarang dan pembaca), tetapi hubungan antara teks dan interpretasi itu sendiri. Ricoul memfokuskan penelitian hermeneutiknya pada teks. Menurutnya teks adalah bersifat otonom, ia tidak bergantung pada maksud pengarang, pada situasi historis karya atau buku dimana teks itu berada.
Dalam proses peerkembangannya, bahasa menjadi perlu dalam proses pemahamannya, karena bahasa ibarat sebuah nadi dalam proses sebuah komunikasi. memahami dan mengerti sudahlah patut dilakukan agar tidak terjadi junk communication
Bahasa dalam proses pemahaman
Terdapat tiga langkah yang menunjukkan tentang pemahaman bahasa, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol kegagasan tentang berpikir dari simbol-simbol.
- Langkah pertama yaitu langkah simbolik atau pemahaman dari simbol kesimbol
- Langkah kedua pemahaman makna oleh simbol serta penggantian atas makna.
- Langkah ketiga, langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
E. Sumaryono menjelaskan bahwa ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa yaitu:
- Langkah semantik yang merupakan pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni.
- Langkah refleksif, pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi yaitu mendekati tingkat ontologi.
- Langkah pemahamaman eksistensial atau ontologi yaitu pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu sendiri.